Berguru Kebahagiaan: Dari Bhutan hingga Skandinavia*

Setahun pasca krisis ekonomi global pada 2008, keraguan terhadap pendapatan nasional sebagai jawaban dari kesejahteraan sosial, telah disuarakan oleh ekonom mahsyur sekaliber Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi. Data statistik pendapatan nasional yang tersaji di atas kertas tampak benar secara konsep, namun tak mampu memotret beberapa fenomena yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.

pexels-photo-156731.jpeg

Kemacetan lalu lintas bisa jadi meningkatkan pendapatan nasional melalui penggunaan bahan bakar, tetapi belum tentu dapat memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, kemacetan lalu lintas justru menimbulkan kecemasan warga atas maraknya polusi dan buruknya kualitas udara.

Ketiga ekonom yang tergabung dalam Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress ini, kemudian menawarkan pendekatan pragmatis guna menyelesaikan persoalan kesejahteraan sosial. Pendekatan pragmatis mempromosikan pengurangan hambatan yang merintangi terciptanya kesejahteraan sosial, termasuk kualitas hidup manusia sebagai individu di satu sisi, dan relasi antarindividu di dalam masyarakat di sisi lain.

Proyek Kebahagiaan Bhutan

Bhutan, negara kecil di Asia Selatan, yang luasnya tak lebih dari Sulawesi Selatan, terus membunyikan pendekatan pragmatis melalui apa yang mereka namakan sebagai Gross National Happiness(GNH). Tercatat 8.510 warga Bhutan pada tahun 2010 menjadi bagian dari proyek kebahagiaan tersebut. Proyek kebahagiaan ini membuka kemungkinan baru bagi aspek non-ekonomi seperti tata kelola pemerintahan yang baik, pembangunan  berkelanjutan, pelestarian nilai budaya, dan konservasi lingkungan sebagai pilar kesejahteraan sosial.

Konsep kebahagiaan ala Bhutan, muncul bukan tanpa kritik. Beberapa kalangan menilai bahwa konsep ini tidak menggunakan kaidah pengukuran yang ilmiah, sebab setiap orang memiliki subjektivitas dalam memaknai kebahagiaan. Pada gilirannya, konsep ini menurut kritikus, tidak dapat digunakan sebagai instrumen guna membandingkan kesejahteraan sosial antarnegara, sebagaimana Multidimensional Poverty Index (MPI).

Dalam wawancara New York Times berjudul Index of Happiness? Bhutan’s New Leader Prefers More Concrete Goals, Perdana Menteri Tshering Tobgay menegaskan konsep kebahagiaan diarahkan kepada tujuan yang lebih konkret. Menurutnya, pemerintahan Bhutan semestinya mengatasi hal yang menghambat kebahagiaan melalui penyediaan layanan dasar bagi seluruh warganya.

Proposal PBB

Terlepas dari berbagai kontroversinya, konsep kebahagiaan ini telah mengundang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menginisiasi sebuah pengukuran kebahagiaan yang lebih ilmiah dan dapat diterima hampir semua negara. Setiap negara anggota PBB diminta untuk melakukan pengukuran terhadap kebahagiaan masyarakatnya. Harapannya, inisiasi ini dapat dijadikan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik bagi setiap negara.

Dalam hal ini, PBB mengusulkan enam variabel kunci yang terdiri dari pendapatan per kapita, angka harapan hidup, dukungan sosial, kebebasan menentukan pilihan, kedermawanan, dan persepsi mengenai korupsi sebagai ukuran kebahagiaan yang berlaku secara internasional. Seluruh variabel ini sebangun pula dengan agenda pembangunan berkelanjutan yang memastikan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Pelajaran dari Skandinavia

Lebih lanjut, laporan bertajuk World Happiness Report 2017 menempatkan dua negara Skandinavia yakni Norwegia dan Denmark sebagai negara yang paling bahagia selama tahun 2014-2016. Di sisi lain, Indonesia menempati urutan 81 dari 155 negara yang telah disurvei. Tingkat kebahagiaan Indonesia bahkan lebih buruk dari negara yang tengah dirundung konflik seperti  Pakistan (80) dan Libya (68).

Apa yang membuat Norwegia dan Denmark lebih bahagia dari negara-negara lainnya? Jawabannya adalah demokrasi yang menempatkan peran pemerintah sebagai institusi yang mampu menghadirkan kenyamanan bagi seluruh warganya !

Sebagai contoh, keberlimpahan minyak di Norwegia tidak serta merta membuatnya terjebak dalam kutukan sumber daya alam, layaknya negara berkembang. Manfaat dari penjualan minyak justru di salurkan ke Norwegian Pension Fund Global yang mengelola dana pensiun. Warga Norwegia tidak perlu lagi cemas manakala berada dalam usia yang tidak produktif.

Tidak jauh berbeda dengan Norwegia, Denmark dalam tiga tahun terakhir, mengalokasikan hampir 29 persen dari total anggarannya dalam bentuk perlindungan sosial. Program perlindungan sosial ini sangat berguna bagi kelompok rumah tangga miskin yang rentan terhadap guncangan ekonomi. Selain itu, akses terhadap kesehatan dan pendidikan diberikan secara cuma-cuma, sehingga pajak yang relatif tinggi dapat memberikan manfaat yang lebih besar dan meluas bagi masyarakatnya.

Sampai pada titik ini, gambaran mengenai kebahagiaan di Indonesia tampaknya lebih mirip distopia. Siapa yang tidak terusik melihat 1% orang terkaya di negeri ini menguasai 49,3% dari total kekakyaan nasional ? Apakah kita akan tetap bahagia setelah mengetahui  10,7% dari seluruh rakyat Indonesia terperangkap dalam kubangan kemiskinan? Kesederhanaan Bhutan hingga cerita pembangunan Skandinavia  mengingatkan kita bahwa Indonesia masih amat jauh dari kata “bahagia”.

*Tulisan ini telah diterbitkan di Palopo Pos Edisi 19 April 2017

Leave a comment