Mata Uang dan Hajat Hidup Orang Banyak*

Jika kita membuat daftar, negara dengan ekonomi yang mencemaskan, maka Venezuela dan Zimbabwe-lah yang layak untuk dimasukkan.

Tentu kita bertanya, mengapa Venezuela yang notabene memiliki  cadangan minyak terbesar di dunia, atau pun Zimbabwe yang bergelimang pangan dan berlian, bisa terjerembab ke dalam jurang perekonomian yang mencemaskan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita telusuri perkembangan ekonomi kedua negara.

_103084007_8c7765ff-5f3b-4b92-97b4-e7d623fa6b5c.jpg

Cerita dari Venezuela

Mari kita membicarakan Venezuela mulai dari tahun 1913. Pada tahun tersebut, Venezuela digemparkan dengan temuan cadangan minyak mentah dalam jumlah yang berlimpah. Pada 1920-an, produksi minyak dilakukan melalui pemberian konsesi kepada perusahaan asing. Selama periode ini, Venezuela menikmati transformasi struktural yang membimbingnya menjadi negara industri baru yang muncul dari negara berkembang. Pada tahun 1960-an saja, Venezuela menghasilkan pendapatan per kapita 80% lebih tinggi dari Amerika Serikat.

Venezuela melakukan nasionalisasi terhadap industri minyaknya pada awal 1970-an. Kebijakan ini ditempuh sebagai respons dari gelombang nasionalisasi yang bergulir di sebagian daratan Amerika Latin. Nasionalisasi, bagi Amerika Latin, adalah wujud lain perlawanan terhadap kolonialisme, dimana hampir tidak ada ruang bagi mereka untuk sumber daya ekonomi.

Transformasi struktural kemudian mulai berhenti. Mandeknya transformasi struktural ini tercermin dari penurunan total produksi minyak sebesar 70% pada pertengahan 1980-an dari puncaknya tahun 1970. Saat itu, Venezuela hanya memiliki 30 dari pendapatan per kapita Amerika Serikat, dimana kondisi bertolak belakang dengan capaian pada 1960-an.

Sejak terjadinya kemandekan transformasi struktural, pengaruh perubahan harga minyak dunia terhadap perekonomian Venezuela menjadi sangat kental. Hal ini cukup beralasan, sebab sekitar 90% dari total ekspor Venezuela dan 60 % dari total penerimaan negara didapatkan dari hasil produksi minyak.

Dieggo Restuccia, peneliti dari Universitas Toronto, menyebutkan bahwa masalah ekonomi yang dihadapi Venezuela terletak pada manfaat yang dihasilkan dari pengelolaan sumber daya minyak. Oleh karena itu, Venezuela menjadi bukti sahih, jika negara dengan sumber daya melimpah, belum tentu menjadi berkah bagi perekonomian suatu negara.

Sebagai contoh, saat Presiden Hugo Chaves berkuasa selama periode 1999-2013, ia menggunakan sebagian besar pemasukan dari minyak untuk membiayai sejumlah program sosial yang populis. BBC Indonesia dalam laporan berjudul “Bagaimana Venezuela yang Kaya Minyak tapi Tata Uangnya Ambruk” mencatat Venezuela mendirikan dua juta rumah melalui program Misión Vivienda. Alhasil, ketika harga minyak anjlok seperti pada tahun 2014, Venezuela terpaksa harus memotong program ambisius tersebut guna menghindari defisit anggaran yang kian melebar.

Persoalan tidak berhenti sampai disitu. Sebagai konsekuensi dari kebijakan pengontrolan harga kebutuhan pokok agar terjangkau, Venezuela menetapkan batas harga bagi setiap produk yang bernilai strategis. Akibatnya, perusahaan tidak lagi meraup keuntungan, bahkan berada di ambang kebangkrutan.

Pada titik ini, persoalan yang menimpah Venezuela, ibarat spiral yang terus melilit ke atas. Puncak dari spiral tersebut adalah hiperinflasi. Dana Moneter Internasional memperkirakan pada akhir tahun 2018, Venezuela menderita inflasi sekitar 1 juta %. Untuk menjaga daya beli tetap tinggi, pendapatan masyarakat harus mengalami kenaikan lebih dari 1 juta %. Masalahnya, di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit, sangat mustahil mengharapkan lonjakan pendapatan masyarakat secara ekstrem dalam waktu singkat. Ujungnya, uang yang dipegang oleh masyarakat menjadi tidak berarti sama sekali.

Pengalaman Zimbabwe

Dari Venezuela, kita terbang ke Zimbabwe. Sama halnya dengan Venezuela, Zimbabwe memiliki pemimpin yang populis, namun bertangan besi. Pada 1980-an, Zimbabwe di bawah kepemimpinan Mungabe, menggenjot ekspor produk manufaktur dan komodisti pertanian. Penerimaan yang didapatkan dari ekspor tersebut disalurkan untuk mendanai berbagai inisiatif di bidang pendidikan dan kesehatan.

Pada periode 1990-2000-an, Zimbabwe mengalami kemerosotan ekonomi yang cukup parah. Titik awalnya yaitu Zimbabwe memaksa mengakhiri kepemilikan lahan pertanian yang telah berlaku selama puluhan tahun.

Saat itu, banyak lahan pertanian yang semula berorientasi ekspor, dialihkan ke tangan orang lain, bahkan ke aparat pemerintahan yang minim pengetahuan lapangan. Hasilnya, kinerja sektor pertanian tergerus, stok kebutuhan dasar menipis sampai pada tahap kritis. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Zimbabwe melakukan impor yang dibiayai melalui pencetakan uang baru oleh Bank Sentral.

Dengan jumlah uang beredar yang melimpah tanpa dimbangi dengan produksi dalam negeri, Zimbabwe menggali lubang yang sama seperti Venezuela; hiperinflasi, sekali lagi. Pada puncak krisis, tahun 2008, harga-harga komoditas meningkat dua kali lipat setiap 24 jam. Kabarnya, uang sebesar 100 milliar dollar Zimbabwe hanya cukup untuk membeli 3 butir telur.

Karena mata uang Zimbabwe tidak punya nilai yang berarti, masyarakat berbondong-bondong menukarkan uangnya ke Dollar Amerika Serikat. Bank Sentral kemudian ikut memberlakukan Dollar Amerika Serikat guna membendung ketidakpercayaan masyarakat terhadap mata uang lokal.

Pelajaran yang Dipetik

Jadi, apa pentingnya mata uang bagi hajat hidup orang banyak? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita kembali pada konsep mata uang itu sendiri. Ada tiga fungsi mata uang; Pertama, sebagai media pertukaran, artinya uang mempermudah pertukaran sehingga tidak perlu lagi dilakukan barter. Kedua, sebagai satuan hitung, artinya uang menunjukkan nilai berbagai barang atau jasa yang diperjualbelikan. Ketiga, sebagai penyimpan nilai, artinya uang dijadikan media untuk mengalihkan daya beli saat ke masa mendatang.

Dari ketiga fungsi uang tersebut, nilai mata uang sendiri ditentukan oleh kepercayaan si pemegang mata uang. Kepercayaan disini menyangkut kemampuan daya beli seseorang terhadap suatu barang atau jasa. Jika daya beli mereka tergerus tanpa ada perbaikan yang berarti, maka hukum permintaan dan penawaran tidak akan pernah terjadi, aktivitas ekonomi tak berjalan, dan pada akhirnya mengalami kemunduran.

Meskipun kasus yang terjadi di Venezuela dan Zimbabwe berbeda, ada satu benang merah yang bisa ditarik dan menjadi laboratorium berharga bagi Indonesia. Hiperinflasi bersumber dari kebijakan populis yang tidak realistis dan kredibel sehingga berpotensi memberikan tekanan pada anggaran negara. Sekali kita terperangkap hiperinflasi, maka biaya sosial yang harus dibayar sangat mahal. Pada akhirnya, tugas kita cukup berat; memastikan pemerintahan saat ini punya cukup pilihan kebijakan untuk keluar dari ancaman hiperinflasi di tengah kondisi ekonomi global yang kian tak menentu.

*Tulisan ini diterbitkan di Palopo Pos Edisi 24 September 2018

Leave a comment